Senin, 18 Januari 2010

MISKIN DAN KAYA



Masalah si miskin dan si kaya pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan para sufi—siapa yang lebih baik diantara keduanya??
Si miskin yang sabar atau si kaya yang pandai bersyukur dan murah hati ??

Sebagian sufi seperti Harits al-Muhasibi dan Imam al-Ghazali memberikan keutamaan (afdhaliyah) kepada si miskin. Sedang sufi lain memberikan keutamaan justru kepada si kaya dengan merujuk kepada sahabat-sahabat Nabi SAW, yang hartawan, tapi dermawan,semacam Ustman Ibn ‘Affan dan Abdul Rahman Ibn’Auf.

Sementara Ibn Taimiyah, pembaharu pramodern yang sangat kritis terhadap tasawuf mengemukakan pemikiran baru dalam masalah ini. Dalam buku bertajuk Al-Shufiyya Wal-Fuqara. Ibn Tamiiyah memberikan keutamaan bukan kepada si kaya atau si miskin, melainkan kepada orang yang lebih bertakwa di antara keduanya. (Kitab Al-Shufiyah Wal Fuqara’,hal 25-26).

Menurut Ibn Taimiyah, bila kebaikan si miskin lebih banyak,maka ia lebih utama. Sebaliknya bila kebaikan si kaya lebih banyak, maka si kaya lebih baik. jika kebaikan mereka sama, maka kemuliaan mereka sederajat dan setingkat.

Hanya dalam kasus ini, tutur Ibn Taimiyah, si miskin lebih dahulu melangkah ke sorga daripada si kaya. Karene langkah si kaya tertahan sejenak di depan pintu sorga lantaran harus menyelesaikan perhitungan (hisab) mengenai harta dan kekayaan yang dimiliki.

Miskin dan kaya, seperti dikemukakan Ibn Taimiyah di atas, tidak menjadi dasar keutamaan seseorang. Dasar mengenal itu tetap iman dan taqwa.

Disini miskin dan kaya hanya dapat di indentitaskan sebagai alat uji semata. Sebagai alat uji, keduanya diyakini dapat memberi pengaruh terhadap perilaku manusia, baik maupun buruk. Pengaruh ini tentu sangat bergantung kepada kesiapan mental penerima ujian.

Untuk itu, ada manusia yang tidak siap dengan kemiskinan, sehingga kemiskinan, seperti kata Nabi SAW, dapat mendekatkan manusia kepada kekufuran. (HR Baihaqi).
Sebaliknya banyak pula manusia yang tidak siap dengan kekayaan, sehingga kekayaan membuat dirinya menjadi pelit dan sombong. Inilah makna firman Allah : Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.”(Al-‘Alaq: 6-7)

Sebagai alat uji, kefakiran dan kekayaan itu tidak kekal, tapi bersifat dinamis, artinya berubah dan berputar. Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya tergolong miskin, tapi kemudian Allah SWT membuat dirinya kaya ( Al-Dhuha: 8-9). Maksud kaya disini,menurut sebagian ahli tafsir, adalah kaya harta. Hal ini karena perkataan ‘dibuat kaya” (Aghna) dalam ayat ini disandingkan dengan perkataan miskin (‘Aailan).

Namun menurut Abdulah Yusuf Ali, kaya disitu lebih menunjuk pada kekayaan rohani dan spiritual. Dengan kekayaan ini, lanjut Yusuf Ali, Nabi SAW bukan saja dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat duniawi, tetapi juga mampu memusatkan perhatian dan seluruh waktunya untuk bekerja dan beribadah kepada Allah SWT.


(Sumber: Hikmah Republika)