Senin, 18 Januari 2010

KEMEWAHAN HIDUP



Peringatan Rasulullah SAW terhadap kemewahan hidup patut jadi perhatian kita. Kendati
Islam tidak melarang umatnya hidup kaya, bahkan Islam membolehkan seseorang mencari harta sebanyak-banyaknya.

Namun, Islam melarang menjadikan kemewahan itu sebagai poros kehidupan, apalagi menjadikannya sebagai tujuan hidup.
Kemudahan rezeki yang diperoleh jangan membuat lupa dan terperosok dalam gaya hidup mewah, hedonis, jauh dari kesederhanaan.

Dunia memang indah namun harus disadari akherat jauh lebih manis dan kekal abadi.
Hedonisme atau gaya hidup mewah merupakan penyakit sosial yang secara sunnatullah akan menggiring manusia kejurang kehancuran
.
Gaya hidup itu seringkali membuat orang malas, berpikir pendek, tak punya idealisme yang luhur dan cita-cita yang mulia, ingin enaknya saja, sehingga jelas-jelas akan bermuara pada rusaknya kualitas sumber daya manusia.
Kemewahan hidup seringkali membuat orang lalai.

Pemimpin lalai akan tugas dan fungsinya sebagai pengayom kehidupan rakyat.
Keadilan sebagai tugas pokok pemimpin akan jauh dari kenyataan. Hedonisme juga membuat rakyat lali akan tugasnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar’, sebagai kontrol penerapan hukum oleh penguasa.

Gaya hidup mewah juga akan melemahkan sendi-sendi kehidupan ber-bangsa lainnya.
Jalan pintas akan diambil sebagai manifestasi sikap hidup mewah. Demi kemewahan hidup, orang lupa nilai-nilai akhlak atau rambu-rambu moral.

Adanya penipuan, perampokan, pencurian, penodongan, dan penyalahgunaan kekuasaan akan subur dari orang yang memiliki mental hedonis.

Ibnu Khaldun pernah berkata: bahwa kehidupan mewah akan merusak manusia, ia menanamkan pada diri manusia berbagai macam kejelekkan, kebohongan, dan perilaku hidup buruk lainnya.

Nilai-nilai agung akan hilang dari mereka dan berganti dengan nilai-nilai bejat yang merupakan sinyal kehancuran dan kepunahannya.



Abu Hikmah
Sumber: Hikmah Republika

KEKAYAAN



Suatu hari Nabi Muhammad SAW ditanya oleh seorang sahabat tentang harta kekayaan.
Beliau menjelaskan “barang siapa menumpuk harta melebihi kebutuhannya, berarti dia telah mengambil kematiannya sendiri tanpa disadari”

Hadis Rasululah di atas mengingatkan agar kita selalu hati-hati terhadap harta yang kita miliki.
Islam memang menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak harta kekayaan, namun dengan syarat-- harus digunakan untuk jalan yang benar dan baik.

Misal untuk kesejahteraan keluarga, untuk membantu saudara-saudara kita yang kekurangan dan seterusnya.

Khalid Muhammad Khalik, dalam bukunya Ahlullah menyebutkan bahwa Maimun bin Mahran pernah berkata,”Harta itu mempunyai tiga tuntunan. Jika seseorang selamat dari yang pertama, masih dikhawatirkan pula dari yang ketiga.
.
Pertama: hendaknya harta itu bersih ( halal dan tidak tercampur yang syubhat).

Kedua: hendaknya hak Allah (zakat) dipenuhi (dikeluarkan).

Ketiga: hendaknya dibelanjakan secara wajar (tidak dihambur-hamburkan dan tidak pula kikir dalam pengeluaran).

Dalam kehidupan sehari-hari tak jarang kita melihat sekelompok orang berfoya-foya dan membelanjakan harta melebihi yang dibutuhkan. Mereka tidak lagi mempedulikan nasib orang-orang di sekitarnya yang serba kekurangan, padahal jauh hari Allah sudah mengingatkan,”Sesungguhnya harta dan anak-anaknya hanyalah cobaan (bagimu)…(QS. 64 : 15) “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.”(QS. 63:9).

Dan bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur”.(QS. 102:1)

Dalam buku Teosofia Al-Qur’an, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa menumpuk harta melebihi kebutuhan dapat membinasakan diri sendiri. Itu katanya, kalau ditinjau dari tiga hal.

Pertama, menumpuk harta cenderung menyeret kita ke tebing maksiat dan kezaliman.
Ujian atau cobaan dengan kemewahan jauh lebih berat ketimbang kesengsaraan. Dalam keadaan kaya kita biasanya sulit untuk bersikap sabar.

Kedua, menumpuk harta cenderung mendorong kita untuk hidup melebihi yang kita butuhkan. Nabi SAW mengingatkan.”Cinta dunia pangkal segala kesalahan.”
Ketiga, menumpuk harta cenderung alpa berzikir kepada Allah. Padahal, kata Al-Ghazali:
Mengingat Allah adalah asas kebahagiaan di dunia dan akherat.

MISKIN DAN KAYA



Masalah si miskin dan si kaya pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan para sufi—siapa yang lebih baik diantara keduanya??
Si miskin yang sabar atau si kaya yang pandai bersyukur dan murah hati ??

Sebagian sufi seperti Harits al-Muhasibi dan Imam al-Ghazali memberikan keutamaan (afdhaliyah) kepada si miskin. Sedang sufi lain memberikan keutamaan justru kepada si kaya dengan merujuk kepada sahabat-sahabat Nabi SAW, yang hartawan, tapi dermawan,semacam Ustman Ibn ‘Affan dan Abdul Rahman Ibn’Auf.

Sementara Ibn Taimiyah, pembaharu pramodern yang sangat kritis terhadap tasawuf mengemukakan pemikiran baru dalam masalah ini. Dalam buku bertajuk Al-Shufiyya Wal-Fuqara. Ibn Tamiiyah memberikan keutamaan bukan kepada si kaya atau si miskin, melainkan kepada orang yang lebih bertakwa di antara keduanya. (Kitab Al-Shufiyah Wal Fuqara’,hal 25-26).

Menurut Ibn Taimiyah, bila kebaikan si miskin lebih banyak,maka ia lebih utama. Sebaliknya bila kebaikan si kaya lebih banyak, maka si kaya lebih baik. jika kebaikan mereka sama, maka kemuliaan mereka sederajat dan setingkat.

Hanya dalam kasus ini, tutur Ibn Taimiyah, si miskin lebih dahulu melangkah ke sorga daripada si kaya. Karene langkah si kaya tertahan sejenak di depan pintu sorga lantaran harus menyelesaikan perhitungan (hisab) mengenai harta dan kekayaan yang dimiliki.

Miskin dan kaya, seperti dikemukakan Ibn Taimiyah di atas, tidak menjadi dasar keutamaan seseorang. Dasar mengenal itu tetap iman dan taqwa.

Disini miskin dan kaya hanya dapat di indentitaskan sebagai alat uji semata. Sebagai alat uji, keduanya diyakini dapat memberi pengaruh terhadap perilaku manusia, baik maupun buruk. Pengaruh ini tentu sangat bergantung kepada kesiapan mental penerima ujian.

Untuk itu, ada manusia yang tidak siap dengan kemiskinan, sehingga kemiskinan, seperti kata Nabi SAW, dapat mendekatkan manusia kepada kekufuran. (HR Baihaqi).
Sebaliknya banyak pula manusia yang tidak siap dengan kekayaan, sehingga kekayaan membuat dirinya menjadi pelit dan sombong. Inilah makna firman Allah : Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.”(Al-‘Alaq: 6-7)

Sebagai alat uji, kefakiran dan kekayaan itu tidak kekal, tapi bersifat dinamis, artinya berubah dan berputar. Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya tergolong miskin, tapi kemudian Allah SWT membuat dirinya kaya ( Al-Dhuha: 8-9). Maksud kaya disini,menurut sebagian ahli tafsir, adalah kaya harta. Hal ini karena perkataan ‘dibuat kaya” (Aghna) dalam ayat ini disandingkan dengan perkataan miskin (‘Aailan).

Namun menurut Abdulah Yusuf Ali, kaya disitu lebih menunjuk pada kekayaan rohani dan spiritual. Dengan kekayaan ini, lanjut Yusuf Ali, Nabi SAW bukan saja dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat duniawi, tetapi juga mampu memusatkan perhatian dan seluruh waktunya untuk bekerja dan beribadah kepada Allah SWT.


(Sumber: Hikmah Republika)

MENEJEMEN KEKAYAAN



Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami),kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”(QS.Al-Isra’:16)

Suatu kali Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabat,”Apabila kemiskinan dan kelaparan sudah merajalela dan meluas di tengah-tengah masyarakat, siapakah orang yang paling bertanggung jawab dan paling berdosa ??

Mendengar pertanyaan yang kritis itu,Rasulullah SAW pun menjawab,”Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas setiap hartawan Muslim,kewajiban zakat (sedekah).

Tidaklah mungkin seorang miskin kekurangan makanan dan pakaian, kecuali karena kebakhilan orang-orang kaya.
Ingatlah Allah SWT akan melakukan perhitungan dengan teliti(meminta pertanggungjawaban) atas mereka,dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.”(HR.Turmuzi)

Dari hadits tersebut kita mengetahui bahwa kemiskinan dan kefakiran,bukanlah semata-mata diakibatkan oleh kemalasan dan ketidak mampuan seseorang di dalam bekerja. Bukan pula oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over population)—sebagaimana anggapan sebagian orang—dan bukan pula oleh semakin menipis dan semakin langkanya sumber alam yang bisa dimanfaatkan. Akan tetapi,penyebab utamanya adalah kebakhilan atau kekikiran yang ada pada segelintir orang kaya yang memiliki harta berlebih.

Orang-orang kaya itu,biasanya orang-orang yang dekat dan berada di sekitar pusat kekuasaan, yang mampu memanfaatkan peluang bisnis—dengan berbagai cara—bekerja sama dengan sebagian para penguasa untuk mengeruk kekayaan negara dengan sebanyak-banyaknya, sementara sebagian besar rakyat yang jauh dengan kekuasaan,yang posisinya sangat lemah,tidak mampu melakukan kegiatan usaha apapun.mereka terombang-ambing oleh situasi yang seringkali sangat tidak bersahabat dengan mereka.

Apa yang terjadi sekarang,harga-harga sembako semakin tinggi,semakin tidak terjangkau oleh daya beli mereka menyebabkan mereka terpuruk pada suatu keadaan yang semakin sulit dan berat. Pola kehidupan yang semacam ini,apabila tidak segera diatasi akan semakin memperlebar jurang pemisah antara keduanya. Apalagi jika orang-orang kaya memiliki sifat egois, kikir, dan hanya mementingkan diri sendiri.

Allah SWT mengancam mereka dengan ancaman yang berat. Firman-Nya: jangan-lah mengira orang-orang bakhil yang mendapatkan harta dari Allah itu baik, akan tetapi hal itu (kikir) sangat buruk,mereka kelak akan dikalungi harta (karena mereka bakhil) pada hari kiamat” (QS.Ali Imron{3}:180)

Karena itu, mengeluarkan zakat,infak,ataupun sedekah dari orang yang mampu untuk mereka yang tidak mampu—selain merupakan perbuatan salah satu usaha sistematis untuk menghilangkan atau paling tidak memperkecil jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. Lebih-lebih dalam situasi kritis seperti sekarang ini, bantuan sekecil apapun akan bernilai mengurangi kesenjangan yang ada….



(Sumber: Hikmah Republika)